11 Juli 2007

Asal - usul Bogor

Seperti diketahui Agama Islam dibawa masuk ke Jawa Barat pertama kali dipimpin oleh Syekh Ibnoe Maulana melalui Cirebon . Mulai tahun 1479 disebarluaskan ke Ban­tan (Banten) oleh Maulana Hassan Oedin (Maulana Hasanudin). Banten, yang pada mulanya berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, kemudian melepaskan diri dengan Maulana Hasanudin sebagai Sultan Banten dari mulai menyusun kekuatan untuk mengalahkan Pajajaran.
Pada tahun 1482, pusat kerajaan Pajajaran yang pada waktu itu berada di Galoe (Galuh) berpindah untuk terakhir kalinya ke Bogor (Beitenzorg). Disini kekuatan Kerajaan Pajajaran dihancurkan oleh pasukan Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1579 dart sekaligus Kerajaan Pa­jajaran dimusnahkan.
Daerah sebelah barat Kerajaan Pajajaran dijadikan bagian atau wilayah Banten dari sebelah timur dijadikan wilayah Cirebon . Sedangkan daerah antara sungai Citarum dart Cisadane berikut daerah sekitarnya diberi kedaulatan tersendiri dart dikepalai oleh searang Pangeran yang mengakui kekuasaan Sultan Banten. Daerah ini disebut Jacarta dan dipimpin oleh Pangeran Jacarta.
Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam.
Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.
Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :
a. Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
b. Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
c. Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu
Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
d. Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
e. Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.
Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur).
Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia .
Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon , dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain.
Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas
Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius meneluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.
Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor . Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar.
Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pcmimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanu­jiwa ini (1689-1705), walaupun secara resmi peng­gabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru ter­jadi tahun 1745.
Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena ser­san itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekua­saan VOC. Mereka kalah dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.
Orang saling menyindirnya bahwa ia mengejar harapan kosong dan "bermesraan" dengan orang ompong (Per­matasari). Yang jelas, penyusun babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan Tanujiwa sebagai "Bupati Pertlama". Sebaliknya para penulis Belanda menyebut Tanu­jiwa sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.
Saleh Danasasmita (1983) juga menyebutkan bahwa malam hari tanggal 4 & 5 Januari 1699 Gunung Salak meletus dengan iringan gempa yang sangat kuat. Sebuah catalan dari tahun 1702 melaporkan akibat-akibat yang ditimbulkannya:
a. Dataran tinggi antara Batavia dengan Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja
Jakarta (Pakuan) yang tadinya berupa hutan besar berubah menjadi lapangan
luas terbuka tanpa pohon-pohon sama sekali.
b. Permukaan tanah tertutup tanah liat merah halus. Di beberapa tempat tanah
telah mengeras hingga me­nyulitkan orang berjalan di atasnya.
c. Aliran Ciliwung dekat muaranya tersumbat sepanjang beberapa ratus meter akibat
lumpur yang dibawanya. Tidak terdapat berita mengenai keadaan penduduk
sepanjang aliran sungai itu.
Abraham Van Reebeck-lah yang kemudian mcmber­sihkan sumbatan tersebut, tetapi ia juga mengajukan usul agar tanah BDiong Manggis dan BDiong Gede diberikan kepadanya sebagai imbalan. Pada tahun 1703 ia tidak mencatat tentang sisa-sisa letusan itu. Setahun kemudian ia mendirikan pondok peristirahatan di daerah Batutulis, karena Gunung Salak tidak dianggap menakutkan lagi.

Pada tahun 1709, Van Reebeck menyuruh mcmbangun jalan ke arah pantai selatan. Disini Pada tahun 1711 atas biaya Wali Negeri didirikan 4 daerah yaitu Gunung Guru, Citarik, Pondok ope dan Cidurian. Daerah-daerah ini men­jadi tempat pelarian beberapa orang asal Banten yang kurang puas terhadap kewajiban mengumpulkan indigo, benang katun dan penanaman kapi.
Dalam rapat antar Kepala Daerah hari Senin tanggal 18 Februari 1724, regent Cianjur, Kyai Aria Wira Tanoe diangkat menjadi regent keempat daerah tersebut. Sehingga penduduk mempunyai kewajiban sepertr pen­duduk daerah kekuasaan Kampeni lainnya.
Pada tahun 1744 yaitu dari tanggal 20 Agustus sampai Septcmber, Gubernur Baron Van Imhoff mengadakan peninjauan. Ia menaruh perhatian Pada Kampung Baru (kelak menjadi Buitenzorg) yang dapat dikembangkan menjadi daerah pertanian dan tempat perislirahatan Gubernur Jenderal.
Selanjutnya Pada tahun 1745, Baron mengajukan petisi kepada Dewan Perwakilan Resmi Pcmerinlahan Hindia Belanda yang isinya :
a. Daerah Kampung Baru diubah menjadi suatu tempat peristirahatan gubernur Jenderal
dan Staf VOC.
b. Menjadikan derah ini daerah pertanian dan perkebunan sebagai contoh daerah lain.
c. Merencanakan perubahan perilaku masyarakat yang dianggap malas
(pada waktu itu), menjadi masyarakat yang mempunyaikcmampuan atau
keahlian misalnya ambtenar (pegawai negeri), ahli pertanian, ahli perkebunan
dan sebagainya.
Pada tahun yang sama pula, 9 buah distrik, yaitu : Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru digabung menjadi “satu pemerintahan” di bawah kepala Kampung Baru yang bergelar Demang. Gabungan 9 distrik ini disebut Regentschap Kampung Baru Buitenzoregg.
Dalam lambang Kabupaten Bogor, sungai Cisadane dan Ciliwung masing-masing digambarkan dengan 9 garis gelombang. Ini mengungkapkan gabungan 9 distrik tersebut, jadi benar, pendapat ahli Belanda Riesz, yang mengatakan bahwa Kampung Baru adalah “de Bakermat” (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor. Banyak orang mengatakan bahwa Istana Bogor di kawasan Kebun Raya itu merupakan gagasan Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Dugaan tersebut dianggap kurang tepat, sebenarnya ia tidak pernah merencanakan sebuah istana. Sebaliknya ia mendirikan sebuah rumah sakit militer di cipanas. Pada lokasi Istana Bogor sekarang, didirikannya sebuah bangunan sederhana sebagai tempat persinggahan dalam perjalan dari benteng Batavia ke Cipanas. Van Imhoff cenderung pada liberalisme Perancis. Iapun penganut setia faham romantisme ajaran Rosseau, yang menganjurkan manusia kembali kepada alam. Pada waktu itu mode para pencari kewajaran alami ialah dengan mcmbangun villa sederhana, mungil, dan serasi dengan alam sekitar. Vila ini disebut Sans Souci (bahwa Perancis) atau istilah Beladanya “Buitenzorg” yang berarti : tanpa rasa gundah. Demikian pula bangunan sederhana yang ia bangun pada lokasi Istana Bogor ia beri nama Buitenzorg. Buitenzorg meliputi Puncak – Telaga Warna – Mega Mendung – Ciliwung – Muara Cihideung – Puncak Gunung Salak dan Puncak Gunung Gede. Dan Baron Van Imhoff diresmikan menjadi tuan tanah dari kawasan itu.
Van Imhoff merupakan pimpinan VOC pertama yang melaksanakan politik teritorial melalui sistcm percetakan sawah. Politik ini berguna untuk mcmpertinggi hasil padi dan mengikat penduduk pada pemukiman yang tetap. Perkebunan kopi, lada dan tarum juga berkcmbang pesat di daerah Buitenzorg. Pada tanggal 1 januari 1800 VOC atau Kompeni Hindia Belanda menerima persetujuan untuk mcmperluas ke selatan (hulu atas) Kampung Baru.
Pada waktu itu, Batavia yang menjadi pusat pemerintahan Belanda VOC dirasakan padat dan jika musim hujan tiba, banjir meluap dan melanda kota . Akibatnya sering berjangkit penyakit menular yang berkepanjangan, sehingga VOC memilih daerah selatan dengan tujuan atau pertimbangan antara lain :
a. Daerah selatan subur dan baik tanahnya, merupakan sisa-sisa peninggalan
Kerajaan Pajajaran.
b. Tidak terlalu jauh dari pusat Pemerintahan VOC, yaitu Batavia.
c. Letak, keadaan tanah dan iklimnya dinilai sesuai dengan keinCinan Belanda,
sehingga sangat cocok untuk tempat peristirahatan pejabat-pejabat Belanda.
Secara bertahap lembaga pemerintaha melakukan mutasi, seperti dilakukan terhadap Sekretaris Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1928. kemudian disusul pcmbentukan departcmen kerajinan tangan, departcmen pertanian dan pendidikan.
Demikian pula penyebaran penduduk. Sesuai dengan politik pemerintahan jajahan pada waktu itu, penyebaran penduduk didasarkan perbedaan kelas masyarakat, menurut warna kulit, diskriminasi rasial. Bangsa berkulit kungin atau Cina mendiami daerah Pecinan atau Lawang Seketeng dan daerah tersebut dijadikan pusat per­dagangan dan jalur ekonomi. Sisa-sisa kejayaannya masih terlihat sekarang di daerah sekitar Pasar Bogor dan Suryakencana. Bangsa Arab mendiami daerah sekitar Empang. Sedangkan bangsa pribumi sebagai penduduk asli yang menurut klasifikasi masyarakat adalah warga kelas empat (IV) hanya mendiami pelosok-pelosok desa, yaitu sekarang daerah sekitar Bondongan. Bangsa Eropah atau yang berkulit putih sebagai warga utama dan terhormat saat itu, mendapat daerah kelas satu (I) yang memiliki Pemandangan bagus yaitu daerah sekitar Kedung Halang, serta jalan raya pusat kota yang disebut Preanger Lijn (saat ini Jalan Ir. H. Juanda) yang diresmikan tahun 1872.
Perkembangan selanjutnya, Pada tahun 1941, Buiten­zorg secara resmi lepas dari Batavia dan mendapat otonominya sendiri. Keputusan dari Gubernur Jenderal Belanda di Hindia Belanda No. 11 tahun 1866, No. 208 tahun 1905 dan No. 289 tahun 1924 menyebutkan bahwa wilayah Bogor pada waktu itu seluas 22 km persegi, ter­diri dari 2 sub-distrik dan 7 desa.
Pemandangan alam dan keadaan topografi Buitenzorg yang indah menyebabkan pemerintahan Hindia Belanda menjadikannya sebagai tempat rekreasi dan pemukiman yang ideal, dengan rumah Gubernur Jenderal yang berada di jantung kota yang kemudian berkcmbang men­jadi Istana Bogor.

Tidak ada komentar: